Menikah itu karena harta atau karena cinta??


Meski Dilarang, praktik Pemeberian Mahar tetap marak di India" demikian salah satu judul berita yang ada dalam Topik Isu Sosial yang di lansir oleh VOAnews.com, Rabu, 25 Januari 2012. Karena topik tersebut diangkat oleh VOA aku jadi tambah satu wawasan lagi bahwa budaya Mahar di India yang merugikan pihak perempuan benar-benar terjadi.


Banyak sekali filem-filem India yang diputar di Indonesia bertemakan tentang cinta yang indah, dan hampir semuannya ceritanya juga berakhir Happy Ending.


Filem memang berbeda dengan kenyataan, kenyataan tak selamanya benar-benar indah, Sebuah fakta di india, karena uang mahar atau mas kawin yang begitu menekan terjadi penurunan secara tajam jumlah bayi perempuan dibandingkan dengan bayi laki-laki di India.

 
Pada tradisi India, Mahar atau mas kawin diberikan pada saat pesta pernikahan. Isinya sih bisa macam-macam ada emas, pakaian dan barang-barang mahal yang diberikan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki pada saat pesta pernikahan.

Karena dalam tradisi/ adat-istiadat india pihak perempuanlah yang memberikan mahar kepada pihak laki-laki, maka terjadilah sebuah tindakan masyarakat terutama orang tua yang memiliki anak perempuan untuk mengurangi beban mahar tersebut, hal inilah yang memicu penurunan secara tajam jumlah anak perempuan di India. Tindakan para orang tua tersebut bener-bener sangat bertentangan dengan norma hukum yang berlaku dan Hukum alam sendiri nih mulai dari Aborsi, ganti nama, sampai ganti kelamin menjadi laki-laki cek... cek ...cek....

Gimana dengan Indonesia???

Aku coba membandingkan dengan di Indonesia, konsep perkawinan di Indonesia di atur dalam UU No. 1 th 1974, yang mana Perkawinan itu memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kalau Adat perkawinannya sendiri giman nih??


Nah kalau mencari adat istiadat di indonesia mengenai Mahar atau mas kawin ada bermacam-macam juga sesuai dengan sukunya, kalau di Indonesia setiap suku ada yang mengikuti garis keturunan Patrilineal (garis keturunan ayah) atau Parental/ Bilateral (menarik garis keturunan dari dua belah pihak ayah dan ibu). Biasanya suku yang mengikuti garis keturunan Patrilineal atau Parental/ Bilateral mahar atau mas kawain diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Contoh Suku yang mengikuti garis keturunan Patrilineal adalah Batak sedangkan suku yang menarik garis keturunan Parental/Bilateral adalah suku Jawa, Madura, Aceh, Makassar dll.


Di Aceh, adat mahar merupakan simbol kehormatan dan gengsi keluarga. Pihak laki-lakilah yang memiliki kewajiban untuk meberikan mahar kepada pihak perempuan, mahar tersebut berupa emas (biasanya sepuluh mayam emas), mahar jugalah yang menunjukan kedudukan sosial dari pihak perempuan dan laki-laki. Nilai mahar di Aceh merupakan nilai mahar tertinggi setelah Sulawesi yang diukur dalam satuan Mayam.


Pada adat Batak di setiap perkawinan ada istilah Sinamot atau uang beli yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan, jumlahnya tergantung dengan kesepkatan kedua belah pihak nih, baik dari pihak perempuan (parboru) dan pihak laki-laki (paranak). Hal inilah yang menyebabkan semua perempuan batak juga harus mengikuti suami (budaya Exogami).


Gimana yah kalau gak punya uang mahar atau Sinamot ?? Ya adat Batak mengakui adat Kawin lari atau disebut (magalua) biasannya adat ini terjadi karena pihak laki-laki tidak sanggup untuk memberikan sinamot (uang beli/mahar) atau karena tidak ada restu dari kedua orang tua.


kalau di Jawa adat Mahar berbeda dengan dengan Peningsetan/ uang pengikat yang biasanya juga disebut serah-serahan. Peningsetan (serah-serahan) merupakan pengikat / tanda jadi biasannya isinya berupa: satu set daun sirih yang disebut Suruh Ayu, beberapa helai kain jarik dengan motif batik yang berbeda, kain bahan untuk kebaya, ikat pinggang tradisional yang disebut stagen, buah-buahan (terutama pisang), sembako (beras, ketan, gula, garam, minyak goreng, bumbu dapur), satu set cincin nikah, dan sejumlah uang sebagai sumbangsih dari pihak mempelai pria (itikad baik dan bentuk tanggung jawab keluarga pria). Sedangkan mahar sendiri merupakan sesuatu pemberian suami atas permintaan istrinya, dan merupakan syarat sah pernikahan. Biasanya berupa cincin, gelang dan kalung yang dikenal dengan sebutan mas kawin.


Sedangkan suku yang mengikuti garis keturunan Matrilineal (Garis Keturunan Ibu) biasannya mahar atau mas kawin diberikan dari Pihak perempauan kepada pihak laki-laki. Di Indonesia suku yang menganut sistim garis keturunan Matrilineal ini adalah suku Padang.


Adat di Padang ada istilah Uang jemputan (Japuik) dan Uang hilang yang meupakan ciri dari Kabupaten Padang Pariaman dan kota Pariaman. Uang jemputan berfungsi sebagai salah satu persyaratan atau disebut akad pernikahan dan bermakna sebagai perwujudan rasa hormat atau penghargaan dari pihak keluarga perempuan kepada laki-laki (calon menantu atau sumando) dan keluarganya.

Pada mulanya, yang menjadi orang jemputan (mempelai pria) adalah orang yang secara sosial dianggap sebagai terhormat, yaitu keturunan bangsawan (bergelar atau mewarisi gelar sidi, bagindo, dan sutan), nah u
ntuk menjemput calon menantu yang mempunyai jaminan hari depan baik inilah maka orangtua dari pihak perempuan mulai berkompetisi memberikan uang jemputan untuk suatu pernikahan.

Bermula dari perlombaan dan kompetisi inilah kemudian muncul istilah "uang hilang" sebagai pengganti uang jemputan. Awalnya, uang hilang memang untuk pengganti uang jemputan. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, kedua-duanya tetap menjadi tradisi sampai sekarang.
 

Nah karena pihak laki- laki yang menerima mahar dari pihak perempuan, maka dikemudian hari Ayah dan anak-anak tidak memiliki hak dan kekuasaan atas harta pusaka. Berbeda dengan budaya batak, di padang pihak laki-laki (Suami) lah yang harus tinggal di keluarga istri dan bekerja keras mencukupi kebutuhan rumah tangga. Sedangkan yang berhak mengatur segalanya (perkawinan, warisan) adalah saudara laki – laki dari ibu yang disebut memberikan mas kawin, tetapi menerima jemputan. Bila terjadi perceraian suami harus pergi tanpa harta dan anak-anaknya.

Aku mesti sangat bersyukur, meskipun budaya-budaya diatas telah lama ada di Indonesia dan melekat pada setiap sukunya masing-masing, ternyata budaya yang tidak sesuai lagi tersebut mulai banyak perubahan dewasa ini, hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia berasimilasi dengan budaya-budaya disekitarnya dan juga dikarenakan masuknya ajaran Agama yang menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat sehingga budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Agama tersebut mulai ditinggalkan.

Nah aku sih berharap hendaknya buat temen-temen yang akan melangsungkan pernikahan kiranya ikut mengilhami isi dari UU No. 1 th 1974 tentang hukum perkawinan, dimana filisofi Perkawinan itu sendiri memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Jangan menjadikan perkawinan itu sebagi rangkaian bisnis, yang hanya memperhatikan uang semata. Bukankah sebuah pernikahan harus dilandaskan cinta, bukan harta dan tahta semata.

Menciptakan tatanan sosial yang seimbang dan ramah untuk generasi berikutnya sangat penting dilakukan agar tidak terjadi lost generation akibat aturan adat yang tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan dengan norma-norma yang kini berkembang di masyarakat.













Komentar

Postingan Populer